Rabu, 31 Oktober 2012

Teori Tumbukan


Teori tentang tumbukan didasarkan atas teori kinetik gas yang mengamati tentang bagaimana suatu reaksi kimia dapat terjadi. Menurut teori tersebut kecepatan reaksi antara dua jenis molekul A dan B sama dengan jumlah tumbukan yang terjadi per satuan waktu antara kedua jenis molekul tersebut. Jumlah tumbukan yang terjadi persatuan waktu sebanding dengan konsentrasi A dan konsentrasi B. Jadi makin besar konsentrasi A dan konsentrasi B akan semakin besar pula jumlah tumbukan yang terjadi.

gambar_10_9
Teori tumbukan ini ternyata memiliki beberapa kelemahan, antara lain :
  • Tidak semua tumbukan menghasilkan reaksi sebab ada energi tertentu yang harus dilewati (disebut energi aktivasi = energi pengaktifan) untak dapat menghasilkan reaksi. Reaksi hanya akan terjadi bila energi tumbukannya lebih besar atau sama dengan energi pengaktifan (Ea).
  • Molekul yang lebih rumit struktur ruangnya akan menghasilkan tumbukan yang tidak sama jumlahnya jika dibandingkan dengan molekul yang sederhana struktur uangnya.
Teori tumbukan di atas diperbaiki oleh teori keadaan transisi atau teori laju reaksi absolut. Dalam teori ini diandaikan bahwa ada suatu keadaan yang harus dilewati oleh molekul-molekul yang bereaksi dalam tujuannya menuju ke keadaan akhir (produk). Keadaan tersebut dinamakan keadaan transisi. Mekanisme reaksi keadaan transisi dapat ditulis sebagai berikut:
Dimana:
- A dan B adalah molekul-molekul pereaksi
- T* adalah molekul dalam keadaan transisi
- C dan D adalah molekul-molekul hasil reaksi
Secara diagram keadaan transisi ini dapat dinyatakan sesuai kurva berikut:
A + B → T* → C + D
gambar_10_10
Dari diagram terlibat bahwa energi pengaktifan (Ea) merupakan energi keadaan awal sampai dengan  energi keadaan transisi. Hal itu berarti bahwa molekul-molekul pereaksi harus memiliki energi paling sedikit sebesar energi pengaktifan (Ea) agar dapat mencapai keadaan transisi (T*) dan kemudian menjadi hasil reaksi (C + D).
Catatan : Energi pengaktifan (= energi aktivasi) adalah jumlah energi minimum yang dibutuhkan oleh molekul-molekul pereaksi agar dapat melangsungkan reaksi. Dalam suatu reaksi kimia berlangsungnya suatu reaksi dari keadaan semula (awal) sampai keadaan akhir diperkirakan melalui beberapa tahap reaksi.
Contoh :  4HBr(g) + O2(g) -> 2H2O(g) + 2Br2(g)
Dari persamaan reaksi di atas terlihat bahwa tiap 1 molekul O2 bereaksi dengan 4 molekul HBr.
Suatu reaksi baru dapat berlangsung apabila ada tumbukan yang berhasil antara molekul-molekul yang bereaksi. Tumbukan sekaligus antara 4 molekul HBr dengan 1 molekul O2 kecil sekali kemungkinannya untuk berhasil. Tumbukan yang mungkin berhasil adalah tumbukan antara 2 molekul yaitu 1 molekul HBr dengan 1 molekul O2. Hal ini berarti reaksi di atas harus berlangsung dalam beberapa tahap dan diperkirakan tahap-tahapnya adalah :
Tahap 1: HBr + O2 -> HOOBr (lambat)
Tahap 2: HBr + HOOBr -> 2HOBr (cepat)
Tahap 3: (HBr + HOBr -> H2O + Br2) x 2 (cepat) 4HBr + O2 à 2H2O + 2Br2
Dari contoh di atas ternyata secara eksperimen kecepatan berlangsungnya reaksi tersebut ditentukan oleh kecepatan reaksi pembentukan HOOBr yaitu reaksi yang berlangsung paling lambat.
Rangkaian tahap-tahap reaksi dalam suatu reaksi disebut “mekanisme reaksi” dan kecepatan berlangsungnya reaksi keseluruhan ditentukan oleh reaksi yang paling lambat dalam mekanisme reaksi. Oleh karena itu, tahap ini disebut tahap penentu kecepatan reaksi.

0 komentar:

Posting Komentar